MENGAPA LANGIT BERWARNA HIJAU ????
Saat cuaca cerah di siang hari, kita akan
lihat langit berwarna biru. Namun pada sore hari, langit akan berwarna
kuning kemerahan. Mungkin banyak dari kita yang belum mengetahui
penyebabnya. kita hanya tahun jika langit berwarna biru,itu tandanya
hari sudah mulai pagi dan jika langit berwarna kuning kemerahan itu
tandanya sudah sore,z tow???

Penyebab warna langit ternyata tidak
lepas dari pengaruh atmosfir bumi kita ini. Molekul-molekul gas seperti
nitrogen, oksigen, argon dan uap air menyebabkan cahaya matahari yang
terdiri dari variasi panjang geleombang terabsorbsi. Cahaya yang
terabsorbsi ini akan teradiasikan sehingga menghasilkan spektrum warna.
Walaupun seluruh panjang gelombang dari cahaya matahari ini terabsorsi,
namun warna biru yang memiliki panjang gelombang yang rendah akan
terabsorsi lebih banyak dibandingkan warna merah sehingga warna biru ini
dominan terlihat oleh mata. Proses ini dinamakan Rayleigh
scattering.Rayleigh menjelaskan bahwa cahaya yang memiliki panjang
gelombang lebih kecil akan memiliki intensitas perpendaran yang lebih
besar. Karena warna biru memiliki penjang gelombang yang kecil sehingga
warna biru akan dominan di langit. Selain itu, perpendaran warna ini
juga dipengaruhi oleh jarak sumber cahaya dengan pengamat sehingga pada
saat sunset, jarak sumber cahaya akan lebih jauh dan menyebabkan
perpendaran efek Rayleigh scattering oleh warna biru ini berkurang.
Proses ini dapat terlihat jelas saat matahari terbenam, dimana warna
merah akan dominan di garis horizon.
Planet yang dekat dengan matahari
Mars adalah planet terdekat keempat dari Matahari. Setelah Merkurius,venus dan Bumi. Namanya diambil dari nama Dewa Yunani kuno untuk perang. Namun planet ini juga dikenal sebagai planet merah karena penampakannya yang kemerah-merahan.Lingkungan Mars lebih bersahabat bagi kehidupan dibandingkan keadaan Planet Venus. Namun begitu, keadaannya tidak cukup ideal untuk manusia. Suhu udara yang cukup rendah dan tekanan udara yang rendah, ditambah dengan komposisi udara yang sebagian besar karbondioksida, menyebabkan manusia harus menggunakan alat bantu pernapasan jika ingin tinggal di sana. Misi-misi ke planet merah ini, sampai penghujung abad ke-20, belum menemukan jejak kehidupan di sana, meskipun yang amat sederhana.
Planet ini memiliki 2 buah satelit, yaitu Phobos dan Deimos. Planet ini mengorbit selama 687 hari dalam mengelilingi matahari. Planet ini juga berotasi. Kala rotasinya 24,62 jam.
Dalam mitologi Yunani, Mars identik dengan dewa perang, yaitu Aries, putra dari Zeus dan Hera.
Di planet Mars, terdapat sebuah fitur unik di daerah Cydonia Mensae. Fitur ini merupakan sebuah perbukitan yang bila dilihat dari atas nampak sebagai sebuah wajah manusia. Banyak orang yang menganggapnya sebagai sebuah bukti dari peradaban yang telah lama musnah di Mars, walaupun di masa kini, telah terbukti bahwa fitur tersebut hanyalah sebuah kenampakan alam biasa.
Dampak letusan gunung Toba zaman purbakala musnahkan hutan di anak benua India
Kajian palaeogeografi ahli asal AS mengetengahkan temuan terkini tentang letusan dahsyat gunung Toba di Sumatera yang menyajikan bukti tak terbantahkan betapa letusan “mega-colossal” gunung berapi zaman purbakala yang terjadi 73.000 tahun silam menimbulkan dampak dahsyat luar biasa hingga memusnahkan keberadaan kawasan hutan di anak benua India yang letaknya terpisah sejauh 3.000 mil dari pusat letusan yang kini menjadi danau Toba.Bukti-bukti riset mencakup debu sampel penelitian yang ditemukan di lokasi daratan India, Samudera Hindia, Teluk Benggali, dan laut China Selatan dari kejadian letusan yang diperkirakan melontarkan material dan debu vulkanis hingga sejumlah 800 km³ ke atmosfir bumi dan membuat gunung berapi zaman purbakala tersebut lenyap tinggal meninggalkan kawah di muka bumi yang kini menjadi danau Toba —dengan dimensi panjang 100km dan lebar 35km menjadi bukti peninggalan danau vulkanis terbesar sejagat—
Digambarkan kedahsyatan dampak letusan ini menjadikan partikel debu pada lapis atmosfir menghalangi sinar matahari ke bumi serta memantulkan kembali panas radiasi hingga selama selang 6 (enam) tahun hingga serta merta memunculkan zaman “Instant Ice Age” di muka bumi —yang berdasarkan analisa penelitian lapisan es di Greenland zaman es ini berlangsung selama 1.800 tahun—
Penelitian ini dilaksanakan oleh Prof. Stanley Ambrose ahli ilmu antropologi dari Universitas Illinois – AS selaku pimpinan peneliti utama yang bekerja sama dengan Profesor Martin A.J. Williams dari Universitas Adelaide – Australia yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah “Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology” terbitan terkini. Prof. Williams adalah yang pertama kali melacak membuktikan terdapatnya debu sisa-sisa letusan gunung Toba purbakala di daratan anak benua India pada tahun 1982.
Dalam riset terkini ini peneliti mengambil sampel penelitian berupa lapisan bongkah marine core dari kedalaman dasar laut Teluk Benggali serta lapisan fosil pada 3 (tiga) lokasi terpisah di daratan anak benua India untuk kemudian melaksanakan analisis uji carbon isotopes : isotop karbon. Analisa isotop karbon hasilnya mencerminkan jenis vegetasi yang ada pada suatu tempat dan periode waktu tertentu. Kawasan berhutan lebat meninggalkan beda pada cirian “sidik jari” isotop karbon yang berbeda dari padang rumput atau hutan savana.
Temuan riset mengetengahkan pada lapis 5 – 7 cm di atas lapisan debu letusan Toba mengindikasikan terjadi perubahan dengan terdapatnya fosil vegetasi tanaman khas perdu dan pakis yang berbeda halnya dengan sedimentasi vegetasi tanaman keras layaknya pepohonan hutan belantara kawasan tropis.
Diterangkan oleh Prof. Ambrose bahwa penurunan suhu bumi hingga sebesar 16 derajat Celcius dengan munculnya zaman “Instant Ice Age” ini terjadi berhubung keadaan penurunan suhu bumi akan menyebabkan dampak penurunan curah hujan hingga menyebabkan musnahnya kawasan hutan belantara. Sedangkan jika ditilik berdasar ketebalan lapisan fosil berlangsung keadaan demikian berjalan sekurangnya hingga 1.000 tahun sejak terjadinya letusan.
Jika ditelaah dari data skala VEI : Volcanic Explosivity Index —yang dipergunakan USGS – Geological Survey Amerika Serikat— letusan luar biasa gunung Toba zaman purbakala ini diklasifikasikan kategori VEI : 8 hingga disebut “mega-colossal” yang antara lain dicirikan dari besaran volume lontaran material vulkanis letusan -/+ 1.000 km³.
Sebagai perbandingan letusan g. Tambora (th. 1815) di kepulauan Nusa Tenggara termasuk dalam skala VEI : 7 , sedangkan peristiwa dahsyat letusan g. Krakatau (th.1883) hingga tinggal menyisakan pulau Anak Krakatau sekarang ini termasuk dalam VEI : 6.
Pada gilirannya letusan “mega-colossal” gunung berapi Toba berdampak pula terhadap proses evolusi manusia di muka bumi, walau ini masih menjadi kontroversi diantara kalangan ilmuwan. Prof. Ambrose sendiri berpegang kajian risetnya yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah “Journal of Human Evolution” pada tahun 1998 termasuk ahli yang meyakini bahwa letusan mega volcano Toba dan kemunculan Zaman Es sesudahnya menjadikan keadaan relatif kurangnya keragaman genetika yang ada pada manusia modern sekarang ini. Bahkan dinyatakannya peristiwa luar biasa ini nyaris mengakibatkan manusia punah dari muka bumi.
Hipotesis yang dilakukan para peneliti tentang asal usul tata surya
Banyak hipotesis tentang asal usul Tata Surya telah dikemukakan para ahli, diantaranya :
Pierre-Simon Laplace, pendukung Hipotesis Nebula
Gerard Kuiper, pendukung Hipotesis Kondensasi
Pierre-Simon Laplace, pendukung Hipotesis Nebula
Gerard Kuiper, pendukung Hipotesis Kondensasi
Hipotesis Nebula
Hipotesis nebula pertama kali dikemukakan
oleh Emanuel Swedenborg (1688-1772) tahun 1734 dan disempurnakan oleh
Immanuel Kant (1724-1804) pada tahun 1775. Hipotesis serupa juga
dikembangkan oleh Pierre Marquis de Laplace secara independen pada tahun
1796. Hipotesis ini, yang lebih dikenal dengan Hipotesis Nebula
Kant-Laplace, menyebutkan bahwa pada tahap awal, Tata Surya masih berupa
kabut raksasa. Kabut ini terbentuk dari debu, es, dan gas yang disebut
nebula, dan unsur gas yang sebagian besar hidrogen. Gaya gravitasi yang
dimilikinya menyebabkan kabut itu menyusut dan berputar dengan arah
tertentu, suhu kabut memanas, dan akhirnya menjadi bintang raksasa
(matahari). Matahari raksasa terus menyusut dan berputar semakin cepat,
dan cincin-cincin gas dan es terlontar ke sekeliling matahari. Akibat
gaya gravitasi, gas-gas tersebut memadat seiring dengan penurunan
suhunya dan membentuk planet dalam dan planet luar. Laplace berpendapat
bahwa orbit berbentuk hampir melingkar dari planet-planet merupakan
konsekuensi dari pembentukan mereka.
Hipotesis Planetisimal
Hipotesis planetisimal pertama kali
dikemukakan oleh Thomas C. Chamberlin dan Forest R. Moulton pada tahun
1900. Hipotesis planetisimal mengatakan bahwa Tata Surya kita terbentuk
akibat adanya bintang lain yang lewat cukup dekat dengan matahari, pada
masa awal pembentukan matahari. Kedekatan tersebut menyebabkan
terjadinya tonjolan pada permukaan matahari, dan bersama proses internal
matahari, menarik materi berulang kali dari matahari. Efek gravitasi
bintang mengakibatkan terbentuknya dua lengan spiral yang memanjang dari
matahari. Sementara sebagian besar materi tertarik kembali, sebagian
lain akan tetap di orbit, mendingin dan memadat, dan menjadi benda-benda
berukuran kecil yang mereka sebut planetisimal dan beberapa yang besar
sebagai protoplanet. Objek-objek tersebut bertabrakan dari waktu ke
waktu dan membentuk planet dan bulan, sementara sisa-sisa materi lainnya
menjadi komet dan asteroid.
Hipotesis Pasang Surut Bintang
Hipotesis pasang surut bintang pertama
kali dikemukakan oleh James Jeans pada tahun 1917. Planet dianggap
terbentuk karena mendekatnya bintang lain kepada matahari. Keadaan yang
hampir bertabrakan menyebabkan tertariknya sejumlah besar materi dari
matahari dan bintang lain tersebut oleh gaya pasang surut bersama
mereka, yang kemudian terkondensasi menjadi planet. Namun astronom
Harold Jeffreys tahun 1929 membantah bahwa tabrakan yang sedemikian itu
hampir tidak mungkin terjadi. Demikian pula astronom Henry Norris
Russell mengemukakan keberatannya atas hipotesis tersebut.
Hipotesis Kondensasi
Hipotesis kondensasi mulanya dikemukakan
oleh astronom Belanda yang bernama G.P. Kuiper (1905-1973) pada tahun
1950. Hipotesis kondensasi menjelaskan bahwa Tata Surya terbentuk dari
bola kabut raksasa yang berputar membentuk cakram raksasa.
Hipotesis Bintang Kembar
Hipotesis bintang kembar awalnya
dikemukakan oleh Fred Hoyle (1915-2001) pada tahun 1956. Hipotesis
mengemukakan bahwa dahulunya Tata Surya kita berupa dua bintang yang
hampir sama ukurannya dan berdekatan yang salah satunya meledak
meninggalkan serpihan-serpihan kecil. Serpihan itu terperangkap oleh
gravitasi bintang yang tidak meledak dan mulai mengelilinginya
sumber :it3a.wordpress.com